Senin, 24 September 2012

FOOD SANITARY


1.  How do infections, intoxications, and toxin - mediated infections cause foodborne illness?
-          Infeksi
Infeksi makanan terjadi karena memakan makanan yang mengandung organisme hidup yang mampu sembuh atau bersporulasi dalam usus, yang menimbulkan penyakit. Organisme yang menimbulkan infeksi makanan meliputi C. perfringens, vibrio parahaemolyticus dan sejumlah jenis salmonella yang berlainan. Sebaliknya,peracunan makanan tidak disebabkan oleh menelan organisme hidup melainkan dengan kemasukan toksin atau substansi beracun yang di sekresi ke dalam makanan. Dalam hal yang terakhir, organisme ini mungkin mati setelah pembentukan toksin dalam makanan, tetapi apabila toksin itu sendiri tidak dimusnahkan,peracunan makanan yang hebat dapat terjadi dari memakan makanan itu. Organisme yang menyebabkan peracunan makanan mencakup S. aureus, C. botulinum, dan B. cereus.
Mikroba patogen penyebab infeksi harus bertemu dengan calon penderita yang rentan agar dapat menimbulkan infeksi, melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Tahap I
Mikroba patogen bergerak menuju tempat yang menguntungkan (penderita) melalui mekanisme penyebaran (mode of transmission). Semua mekanisme penyebaran mikroba patogen tersebut dapat terjadi dimana saja.
b. Tahap II
Upaya berikutnya dari mikroba patogen adalah melakukan invasi ke jaringan/organ penderita dengan cara mencari akses masuk untuk masing-masing penyakit (port d'entree) seperti adanya kerusakan/lesi kulit atau mukosa dari rongga hidung, rongga mulut, orificium urethrae, dan lain-lain.
c. Tahap III
Setelah memperoleh akses masuk, mikroba patogen segera melakukan invasi dan mencari jaringan yang sesuai (cocok). Selanjutnya melakukan multiplikasi atau berkembang biak disertai dengan tindakan destruktif terhadap jaringan, walaupun ada upaya perlawanan dari penderita. Sehingga terjadilah reaksi infeksi yang mengakibatkan perubahan morfologis dan gangguan fisiologis/ fungsi jaringan.

-       Intoksikasi
Keracunan makanan terjadi jika ada sejenis racun/toxic yang tidak sengaja terkandung dalam makanan/minuman yang dikonsumsi oleh tubuh. Keracunan makanan tidak bisa disepelekan, karena bisa berakibat fatal dan bahkan sering berujung pada kematian.
Bahan-bahan racun seperti preservatif, pestisida dsb. masuk ke dalam tubuh organisme (jasad hidup) melalui:
1. Kulit luar
2. Mulut dan saluran makanan
3. Saluran pernapasan
Melalui kulit, bahan racun dapat memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan yang larut minyak (polar). Melalui mulut, racun dapat terserap seperti halnya makanan, langsung masuk peredaran darah. Melalui saluran pernapasan racun dapat terserap ke dalam sistem tubuh dan dapat langsung mempengaruhi sistem pernapasan (pengambilan oksigen dan pembuangan CO2). Pengaruh racun dapat timbul segera setelah masuknya racun (acute toxicity), dalam hal ini racun tersebut racun akut. Gejala keracunan dapat pula terjadi lambat, setelah beberapa bulan atau beberapa tahun – dan di bahan racun penyebabnya disebut racun kronis (chronic toxicity).

Contoh : Menurut Buckle et al., (1987), contoh yang klasik dari golongan ini adalah racun yang dihasilkan dalam bahan pangan oleh pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Clostridium botulinum. Walaupun menghasilkan pengaruh yang agak berbeda pada konsumen, metabolit beracun dari kapang (mycotoxin) harus juga dimasukkan dalam golongan ini.
Dua intoksikasi pangan utama yang disebabkan oleh bakteri yaitu botulism yang disebabkan oleh Clostridium botulinum dan intoksikasi Staphilokoki, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Sthaphylococcus aureus. Gejala- gejala yang ditimbulkan oleh intoksikasi terlihat setelah 3-12 jam setelah memakan bahan makanan tersebut dan ditandai oleh muntah- muntah dan diare (Dewanti, 1996 dalam Handayani dan Werdiningsih, 2010).
Kasus keracunan yang paling sering terjadi pada kurun waktu 1994-1998 adalah dari jasa katering yang menyediakan berbagai menu tradisional. Keracunan pada katering ini dapat disebabkan karena penyediaan makanan dalam jumlah besar sehingga penanganan sanitasi kurang. Pada umumnya jasa makanan katering dipersiapkan jauh (beberapa jam) sebelum makanan tersebut dikonsumsi. Karena jumlah yang dibutuhkan banyak dan membutuhkan waktu penyediaan yang lebih lama, akibatnya makanan dihidangkan bukan dalam keadaan segar (baru diolah) melainkan sudah mengalami penghangatan ulang. Padahal kondisi suhu untuk mencapai panas akan melewati suhu pertumbuhan mikroba patogen. Akibatnya mikroba dapat tumbuh kembali dan memproduksi toksin yang beracun. Selain itu bahan makanan yang baru diolah tidak dilakukan pendinginan segera sehingga suhu pertumbuhan memungkinkan mikroba patogen berbiak dan memproduksi toksin (Handayani dan Werdiningsih 2010).

-       Toxic – Mediated Infection
A toxin-mediated infection happened when a person eats food containing harmful bacteria. While in the intestinal tract, the bacteria produce toxins that cause illness. Some bacteria cause toxin-mediated infection. Viruses and parasites do not cause a toxin-mediated infection. The foodborne bacteria that cause toxin-mediated infection are: Shigella spp. And Shiga toxin-producing Escherichia coli.
A toxin - mediated infection is caused by eating food that contains harmful microorganisms that produce a toxin once inside the human body. A toxin - mediated infection differs from intoxication because the toxin is produced inside the human body


2.  What four groups of people tend to be most susceptible to foodborne illness?
a)      Infants preschool age children (4 years and younger)
b)      Pregnant women
c)      Elderly – 65 years and older
d)      Immunocompromised
Anyone can become ill from eating contaminated food. However, most healthy adults remain asymptomatic or have very mild fl u - like symptoms that resolve in a few days. The same is not true for: infants and young children; the elderly; pregnant women and nursing mothers; and people with impaired immune function due to HIV infection, cancer, diabetes, and certain medications that suppress response to infection. The risks associated with foodborne illness are much more serious for immunocompromised individuals than they are for healthy adults. Susceptible individuals typically become ill from smaller doses of pathogens, and the symptoms and durations of their illnesses can be much more severe, even life threatening.

3.  What are the three classes of foodborne hazards? Give an example of each class.
a)      Biological hazards
Biological hazards are microscopic organisms, such as bacteria, viruses, and parasites, that pose an invisible challenge to food safety. Bacteria and viruses are the most common causes of foodborne illness, and controlling these biological hazards is a primary goal of every food safety program.
Ex: Foodborne Illness Caused by Bacteria, Foodborne Illness Caused by Spore - Forming Bacteria, Foodborne Illness Caused by Non - Spore - Forming Bacteria, Foodborne Illness Caused by Viruses, Foodborne Illness Caused by Parasites.

b)      Chemical hazards
Chemical hazards are harmful substances that can cause illness if ingested with food. These may be naturally occurring, such as food allergens and the toxins associated with molds, plants (for example, mushrooms), and certain species of fish (for example, puffer fish) and shellfish, or of human origin, such as pesticides, cleaning agents, metals, and polychlorinated biphenyls (PCBs).
Ex: Food Allergens, Ciguatoxin, Scombrotoxin, Mercury, Polychlorinated Biphenyls, Bisphenol A, Pesticides,

c)      Physical hazards
Physical hazards are foreign objects, such as stones, bone fragments from animals, pieces of glass, staples, and jewelry, which can get into food as a result of poor food - handling practices on the farm or ranch, in food - processing plants, and in retail food establishments.
Ex: hair on food, plastic in burger, stones in placement rice, ant in a glass of water, maggots in loaf of bread.

4.  What are potentially hazardous foods (time - temperature control for safety foods)? What characteristics cause these foods to be frequently associated with foodborne disease outbreaks? And what is the temperature danger zone, and why is it important to food safety?
-       Potentially hazardous foods is a condition when Bacterial contamination may occur in raw food, in cooked food that has not been properly handled, and on the surfaces of equipment and utensils that have been contaminated by raw animal foods, humans, or pests such as insects and rodents. In addition, certain food products require time and temperature control to limit the growth of pathogenic microorganisms and toxin formation. Pathogenic bacteria can cause illness when they or their toxins are consumed with food. Unlike spoilage organisms, pathogenic bacteria do not typically change how a food looks, tastes, or smells. Therefore people eat the tainted food not suspecting they are exposing themselves to agents that can make them sick.
-       The 2007 Supplement to the 2005 FDA Food Code identifi es the following groups of products as potentially hazardous foods (time/temperature control for safety foods) (FDA, 2009c ):
a)   Foods of animal origin that are raw or heat - treated (that is, meat, poultry, eggs, fish, shellfish, and dairy products)
b)   Foods of plant origin that are heat - treated or consist of raw seed sprouts (for example, cooked rice, steamed or baked potatoes, refried beans, cooked vegetables, and sprouts)
c)    Cut melons (for example, cantaloupe)
d)   Garlic and oil mixtures that are not modifi ed in a way to inhibit the growth of pathogenic microorganisms
e)   Cut tomatoes (including sliced, diced, chopped, and pureed tomatoes) and mixtures of cut tomatoes.
Because PHF/TCS foods have been frequently associated with foodborne disease outbreaks, they are a focal point of most food safety programs. These foods must be handled and stored properly to prevent and control bacterial growth and toxin production that can result in foodborne illness. Bacterial causes of foodborne illness can be divided into two categories, the spore formers and the non - spore formers. This distinction is important because it has implications for prevention.
-       Keeping foods at improper holding temperatures permits the rapid growth of infectious and toxin - producing microorganisms. Temperature danger zone is the rapid growth typically occurs when food is held at temperatures between 41 ° F and 135 ° F (5 ° C and 57 ° C). This temperature range is referred to as the food temperature danger zone.
An important rule in food safety is, “ Keep it hot, keep it cold, or don ’ t keep it. ” This requires keeping hot foods above 135 ° F (57 ° C) and cold foods below 41 ° F (5 ° C) whenever possible. There are times during the cooking, cooling, reheating, and food preparation processes when a food must pass through the temperature danger zone. In order to control the growth of pathogens, it is necessary to minimize the amount of time the food remains in that zone during these processes. The objective should be to pass food through the temperature danger zone as quickly as possible (through proper heating and cooling) and as infrequently as possible (by limiting the number of times a food is cooked, cooled, and reheated).

5.  What is meant by poor personal hygiene, and how can it lead to foodborne illness?
Personal hygiene berasal dari bahasa yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarrti sehat. Kebersihan seseorang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
Personal hygiene adalah suatu tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan kulit seseorang untuk awal dalam perlindungan terhadap organisme. Macam – macam personal hygiene meliputi :
1.      Perawatan kulit kepala dan rambut
2.      Perawatan mata
3.      Perawatan hidung
4.      Perawatan telinga
5.      Perawatan kuku kaki dan tangan
6.      Perawatan genetalia
7.      Perawatan kulit seluruh tubuh
8.      Perawatan tubuh secara keseluruhan
9.      Perawatan gigi dan mulut

Tujuan dari personal hygiene yaitu sebagai berikut:
a.      Meningkatkan derajat kesehatan seseorang
b.      Memelihara kebersihan diri seseorang
c.      Memperbaiki personal hygiene yang kurang
d.      Mencegah penyakit
e.      Menciptakan keindahan
f.       Meningkatkan rasa percaya

A food handler ’ s hands and fingers can become contaminated when he or she eats, smokes, uses the toilet, handles raw foods, touches soiled items, or wipes up spills. Saliva, perspiration, feces, juices from raw animal food products, and various types of soil can be signifi cant sources of contamination if they are allowed to get into food. Therefore food workers must wash their hands whenever they have been exposed to these contaminants.
All of diseases can potentially be transmitted by food and are considered severe health hazards. Food handlers who have been exposed to any of these pathogens must be excluded from work or assigned to restricted activities here they will have no contact with food.

6.  What is cross - contamination, and what are some ways to prevent it?
Pathogens can be transferred to food by contaminated food - contact surfaces. Food  contact surfaces are the parts of equipment, utensils, and work surfaces that normally come into contact with food during storage, preparation, and service. Proper cleaning and sanitizing of these surfaces enhances food safety and quality and increases the life expectancy of equipment and facilities.
Cross - contamination is the transfer of pathogens from one food to another via contaminated hands, equipment, or utensils. Cross - contamination commonly occurs when ready - to - eat foods come into contact with raw animal foods or with surfaces that have had contact with these types of foods. For instance, if the knife and cutting board used when cutting raw chicken into pieces are then used when cutting up lettuce and tomatoes for a salad, the bacteria from the chicken can be transferred to the salad ingredients by the contaminated knife blade and cutting board. Cross - contamination can also occur when raw foods are stored above ready - to - eat foods, and juices from the raw product spill or splash onto the ready - to - eat food.
Cross – contamination is a condition when pathogens from raw animal foods (beef, poultry, fish, and so forth) are transferred to ready - to - eat foods by contaminated hands, equipment, and utensils.
Kontaminasi silang adalah proses perpindahan mikroba dari satu objek ke objek yang lain. Prosesnya bisa terjadi secara langsung maupun tak langsung. Tangan, permukaan tempat bekerja, pisau, papan pengiris, kain lap dan bak pencucian adalah objek yang sering menjadi perantara terjadinya kontaminasi silang secara tak langsung.
Kontaminasi silang dapat terjadi apabila:
ü Produk pangan yang sudah diolah tercemar kembali oleh cemaran dari bahan mentah yang masih kotor. Ini dapat terjadi karena produk pangan yang telah diolah diletakkan di dekat bahan mentah yang masih kotor.
ü Produk pangan tercemar kembali oleh cemaran dari meja kerja dan lingkungannya masih kotor.
ü Produk pangan yang tercemar kembali oleh cemaran dari meisn dan peralatan yang masih kotor, ini tejadi kalau peralatan yang masih kotor atau wadah-wadah yang belum dibersihkan diletakkan berserakan bercampur dengan produk pangan yang sudah diolah.

Berikut adalah beberapa cara menghindari kontaminasi silang:
a)    Memisahkan makanan mentah dengan makanan siap santap.
b)    Menjamin kebersihan permukaan kerja dan peralatan kerja.
c)    Menyimpan makanan dalam wadah bersih dan tertutup.
d)   Menjaga kebersihan tangan dan menerapkan praktek kebersihan pribadi yang baik.
e)    Menjaga kebersihan dan pengendalian hama.
f)     Use separate equipment, such as cutting boards, when preparing raw foods and ready - to - eat foods (color coding may be helpful for this task).
g)   Clean and sanitize food - contact surfaces of equipment and utensils in between working with raw animal foods and ready - to - eat foods.
h)    Avoid touching ready - to - eat foods with bare hands.
i)      Prepare ready - to - eat foods fi rst, then the raw foods.
j)     Keep raw and ready - to - eat foods separate during storage or store ready - to – eat foods above raw products.

7.  Please discuss this statement: Access to healthy food is an environmental justice issue.
Setiap orang memiliki keinginan untuk mengkonsumsi dan mendapatkan makanan yang sehat, bergizi dan memenuhi standar kebersihan yang baik. Kita hidup dalam lingkungan, yang berarti bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam lingkungan adalah bagian hidup manusia. Lingkungan sekitar kita sebenarnya telah menyediakan beragam kekayaan hayati untuk dimanfaatkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia. Hanya saja kemampuan dan keinginan manusia per individu berbeda dalam menyadari pentingnya mengkonsumsi makanan yang sehat. Bagi mereka yang peduli terhadap akses untuk mendapatkan makanan dalam standar tersebut, tentunya mereka akan berupaya dengan segala kemungkinan yang ada agar apa yang ia konsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh pada umumnya. Namun bagi yang tidak peduli, ia akan sulit menyadari pentingnya menjaga asupan makanan yang sehat sehingga apa yang ia makan tidak terseleksi dengan baik. Dalam hal ini keadilan lingkungan tidak mempengaruhi terpenuhi atau tidaknya kecukupan asupan makanan sehat pada tiap individu karena pada dasarnya alam sudah menyediakannya untuk manusia, hanya saja semua tergantung dari masing-masing individu dalam menyeleksi apa yang akan masuk dalam tubuhnya.

8.  Describe about food safety problem in Indonesia. Please mention the references (minimum 5).
KASUS KERACUNAN SUSU DI INDONESIA
Menurut Profil Kesehatan Jawa Timur tahun 2009 oleh Dinas Kesehatan Provinsi, jenis makanan penyebab keracunan sangat bervariasi. Jenis makanan olahan dan kemasan menjadi faktor penyebab dominan walapun tidak terjadi peningkatan yang bermakna.
Susu merupakan salah satu makanan yang bergizi tinggi, namun mudah terkontaminasi oleh bakteri. Kontaminasi bakteri pada susu dimulai pada saat proses pemerahan sampai konsumsi. Bakteri yang mengontaminasi susu dikelompokkan menjadi dua, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Bakteri patogen meliputi Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella sp., sedangkan untuk bakteri pembusuk antara lain adalah  Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. Kasus keracunan setelah minum susu ada dua bentuk, yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi terjadi karena mengonsumsi susu yang terkontaminasi bakteri, sedangkan intoksikasi terjadi karena mengonsumsi susu yang mengandung toksin. Gejala intoksikasi lebih cepat muncul dibandingkan dengan infeksi. Kontaminasi susu dapat diminimalkan dengan memperbaiki proses penerimaan susu segar, penanganan, pemrosesan, penyimpanan sampai konsumsi. Susu yang aman dikonsumsi berasal dari sapi yang sehat dan diproses dengan pasteurisasi atau ultra high temperature (UHT), penggunaan bakteriosin, dan pencucian peralatan dengan neutral electrolysed water (NEW). Keracunan setelah minum susu dapat dihindari dengan tidak mengonsumsi susu mentah dan susu yang telah berubah penampilannya secara fisik maupun organoleptis.
Sebanyak 62 siswa Sekolah Dasar Waung II, Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur, keracunan susu, Jumat (13 September 2004) pagi. Para siswa terpaksa dilarikan ke Pusat Kesehatan Masyarakat Boyolangu dan 27 siswa yang menderita serius dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah dokter Ishak.
Susu yang diminum para siswa adalah bagian dari program pemberian makanan tambahan yang diberikan setiap hari Jumat. Susu yang dikemas dalam botol tanpa merek tersebut diproduksi Koperasi Unit Desa Sri Sedono Ngunut.
Pada Kasus keracunan setelah minum susu di Indonesia sering dilaporkan, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Pada bulan September 2004 telah terjadi keracunan setelah minum susu pada 72 siswa Sekolah Dasar (SD) di Tulung Agung Jawa Timur, 300 siswa SD di Bandung, dan 73 karyawan Carefour di Surabaya. Menurut Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM), kasus tersebut disebabkan oleh E. coli (Kompas, 4 September 2004).
Bakteri Escherichia coli merupakan mikroflora normal pada usus kebanyakan hewan berdarah panas. Bakteri ini tergolong bakteri Gram-negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, kebanyakan bersifat motil (dapat bergerak) menggunakan flagela, ada yang mempunyai kapsul, dapat menghasilkan gas dari glukosa, dan dapat memfermentasi laktosa. Kebanyakan strain tidak bersifat membahayakan, tetapi ada pula yang bersifat patogen terhadap manusia, seperti Enterohaemorragic Escherichia coli (EHEC). Escherichia coli O157:H7 merupakan tipe EHEC yang terpenting dan berbahaya terkait dengan kesehatan masyarakat. E. coli dapat masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui konsumsi pangan yang tercemar, misalnya daging mentah, daging yang dimasak setengah matang, susu mentah, dan cemaran fekal pada air dan pangan.12
            Pada manusia, E. coli yang menyebabkan diare dikelompokan menjadi empat, yaitu enterotoksigenik E. coli (ETEC), enteroinvasif E. coli (EIEC), enteropatogenik E. coli (EPEC), dan enterohemoragik E. coli (EHEC) (Nataro dan Kaper 1998).8 E. Coli yang menyebabkan diare sangat sering ditemukan di seluruh dunia. SNI No. 01-6366-2000 menetapkan bahwa batas pencemaran E. Coli pada susu pasteurisasi adalah negatif.

-          Suwito, Widodo. 2010. Bakteri yang Sering Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis, Epidemiologi, dan Cara Pengendaliannya. Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
-          Siagian, Albiner. 2002. Keracunan Pangan oleh Mikroba. Universitas Sumatera Utara.
-          Khodim, Muhammad. 2004. Siswa SD di Tulung Agung Keracunan Susu. Tulung Agung: Liputan 6
-          Yulisari, Ratna dkk. Tingkat Keamanan Susu Berlabel Pasteurisasi di Wilayah Surabaya Selama Masa Penyimpanan Pada Suhu Refrigerator. Surabaya: Prodi Teknologi Pangan UPN Veteran
http://eprints.upnjatim.ac.id/1353/1/RatnaYuli.pdf
-          Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2009 oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

Referensi:
-       Adam, Syamsunir. 1995. Dasar – Dasar Patologi – Seri Keperawatan. Jakarta: EGC, Penerbit Buku Kedokteran.
-       American Public Health Association. 2000. Control of Communicable Diseases Manual. J. Chin, Editor. Washington, DC. 624 pp
-       Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika Dan Pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika,
-       Dorland, 2001, Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC, Penerbit Buku Kedokteran.
-       Gibson, J.M. 1996. MIKROBIOLOGI DAN PATOLOGI MODERN – untuk perawat. Jakarta: EGC, Penerbit Buku Kedokteran.
-       Frumkin, Howard. Environmental Health: from global to local, second editon.
-       Robbins, Stanley L.; Kumar, Vinay. 1995. BUKU AJAR PATOLOGI I, edisi 4, Jakarta: EGC, Penerbit Buku Kedokteran.
-       Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
-       Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan NIC NOC Edisi 7. Jakarta : EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar