BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemuda
adalah motor perubahan. Jika berkaca pada perjalanan sejarah bangsa ini,
delapan puluh dua tahun lalu menjadi momentum kebangkitan pemuda Indonesia
dengan adanya sumpah pemuda. Momentum tersebut tidak lahir begitu saja, tetapi
lahir dari proses yang panjang.
Disadari atau tidak, pemuda sejatinya memiliki peran
dan fungsi yang strategis dalam akselerasi pembangunan termasuk pula dalam
proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemuda merupakan aktor dalam
pembangunan.
Peran penting pemuda telah tercatat dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dimulai dari pergerakan Budi Utomo
tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, proklamasi kemerdekaan tahun 1945,
pergerakan pemuda, pelajar, dan mahasiswa tahun 1966, sampai dengan pergerakan
mahasiswa pada tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun yang
sekaligus membawa bangsa Indonesia memasuki masa reformasi.
Fakta historis ini menjadi salah satu bukti output bahwa pemuda selama ini mampu berperan aktif sebagai pionir dalam proses perjuangan, pembaruan, dan pembangunan bangsa.
Fakta historis ini menjadi salah satu bukti output bahwa pemuda selama ini mampu berperan aktif sebagai pionir dalam proses perjuangan, pembaruan, dan pembangunan bangsa.
Berkaitan
dengan adanya sumpah pemuda yang baru saja diperingati Bangsa Indonesia tanggal
28 Oktober 2011 lalu, seperti dikutip dalam media berita dan hiburan online
Okezone.com oleh salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, M. Adi Nugroho,
momen ini merupakan harapan adanya sebuah sense of continuity.
Semangat komunal bangsa Indonesia harus dibangun sebagai cambuk pemuda agar
bangun dari tidurnya dan tidak mengekor para tetua. Mitologi Sumpah Pemuda
sebagai hal yang sakral pun perlu menjadi momentum kebangkitan. Pemuda perlu
mengisi pos-pos strategis bangsa dengan kecakapan dan inetelektualitas yang
mumpuni. Pemuda, bukan sekadar agent of change, tapi juga direct
of change.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam perumusan masalah
ini, penulis akan merumuskan:
1. Apa
pengertian pemuda dan pemerintahan orde baru?
2. Apa
saja pelanggaran yang terjadi semasa pemerintahan orde baru?
3. Bagaimana
situasi politik menjelang berakhirnya orde baru?
4. Apa
saja peran pemuda dalam penurunan rezim orde baru?
5. Bagaimana
dampak partisipasi pemuda terhadap politik orde baru?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
yang terdapat dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian
pemuda dan pemerintahan orde baru, mengetahui pelanggaran yang terjadi semasa
pemerinatahn orde baru, mengetahui situasi politik menjelang berakhirnya orde
baru, memahami peran pemuda dalam penurunan rezim Soeharto dan mengetahui
dampak partisipasi pemuda dalam politik orde baru. Penulisan makalah ini juga
merupakan salah satu pemenuhan tugas Kewarganegaraan Kelas R1-A Semester Gasal
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro tahun ajaran 2011 / 2012.
D.
Metode
Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan metode
pustaka yaitu penulis menggunakan media pustaka dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pemuda dan Pemerintahan Orde Baru
A.1 Pengertian Pemuda
Pemuda merupakan kumpulan orang-orang
yang masih muda yang mempunyai jiwa, semangat, ide dan pemikiran-pemikiran yang
segar dan visioner yang bisa dipergunakan untuk memajukan bangsa. Jadi, generasi
muda sangatlah penting dalam suatu bangsa, bahkan generasi muda ini bisa
dikatakan sebagai tonggak utama suatu bangsa yang berpegaruh besar dalam suatu
negara dengan aksi-aksi dan pemikiran kritisnya. Yang dimaksud dengan kumpulan
orang muda dalam pengertian ini bukan muda menurut usia saja, yang dimaksud
dengan kumpulan orang-orang muda adalah seseorang yang masih produktif dan
masih aktif dalam bidangnya masing-masing. Biasanya orang-orang yang dianggap
muda adalah mereka yang berumur kurang dari 40 tahun.
Sedangkan menurut Taufik
Abdullah dalam bukunya Pemuda dan Perubahan Sosial,
bahwa pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan
dengan masalah nilai. Hal ini merupakan pengertian idiologis dan kultural
daripada pengertian ini. Di dalam masyarakat pemuda merupakan satu identitas
yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani
bagi pembangunan bangsanya karma pemuda sebagai harapan bangsa dapat diartikan
bahwa siapa yang menguasai pemuda akan menguasai masa depan. Ada beberapa
kedudukan pemuda dalam pertanggungjawabannya atas tatanan masyarakat, antara
lain:
a. Kemurnian idealismenya
b. Keberanian dan Keterbukaanya dalam
menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang baru
c. Semangat pengabdiannya
d. Sepontanitas dan dinamikanya
e. Inovasi dan kreativitasnya
f. Keinginan untuk segera mewujudkan
gagasan-gagasan baru
g. Keteguhan
janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan keperibadiannya yang mandiri
h. Masih
langkanya pengalaman-pengalaman yang dapat merelevansikan pendapat, sikap dan
tindakanya dengan kenyataan yang ada.
A.2 Pengertian Pemerintahan Orde Baru
Orde baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang mengarah pada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru dieknal
dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde
Lama oleh Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
Moh. Mahfud M.D. , seorang
Guru Besar Hukum Konstitusi di Harian Seputar
Indonesia mendeskripsikan bahwa pada masa
pemerintahan Orde Baru dulu banyak identifikasi yang dilekatkan pada
kepolitikan Indonesia sebagai negara nondemokratis seperti statis organis,
state corporatism, technocratic military regime, patrimonialisme Jawa, beambtenstaat,
post colonial state, bureaucratic authoritarian regime (BAR) dsb. Semua
identifikasi itu menunjuk pada substansi yang sama bahwa pemerintahan Orde Baru
adalah otoriter dan korup. Bureaucratic authoritarian regime (BAR), misalnya,
adalah identifikasi yang menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru adalah
pemerintahan yang otoriter dan korup yang selain sentralistis juga ditandai
birokrasi yang lamban, bertele-tele, dan biaya mahal.
B.
Beberapa
Pelanggaran Orde Baru
Kekuasaan Orde Baru
berlangsung selama 1966 hingga 1998. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya pada 13
tahun pertama Orde Baru, situasi negara
tak lebih baik daripada 13 tahun pertama era Reformasi saat ini.
Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat namun di saat
bersamaan praktik korupsi merajalela. Kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
yang miskin juga semakin melebar.
Pada
13 tahun pertama, sejak 1968 hingga 1981, Presiden Soeharto menerapkan
kebijakan-kebijakan khusus guna memperkuat fondasi Orde Baru. Berikut ini
gambaran kebijakan Orde Baru pada 13 tahun pertama.
1. MPR
secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, dan 1983 melantik Soeharto sebagai
Presiden RI.
2. Soeharto
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada 19 September 1966.
3. Pengucilan politik dan pemberian hukuman
sanksi kriminal terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang
terlibat dibuang ke Pulau Buru.
4. Pemberlakuan Penelitian Khusus (Litsus) diterapkan untuk menyeleksi
kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
5. Orde Baru membangun ekonomi melalui bisnis militer dan menciptakan
struktur administratif yang didominasi militer dengan penasihat dari ahli
ekonomi didikan Barat.
6. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya dipilih dari
kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
7. Pembagian PAD tidak adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya
harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara
pusat dan daerah.
8. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan tapi tercapainya stabilitas politik pada satu sisi
dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI.
9. Eksploitasi sumber daya alam
(SDA) secara besar-besaran. Pengeksploitasian SDA menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
10. Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
Tionghoa dianggap sebagai warga negara asing dan kedudukannya berada di bawah
pribumi. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang. Agama tradisional Tionghoa dilarang,
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Selain kesepuluh poin di atas, hal yang paling menonjol adalah tidak adanya
kebebasan pers untuk mengungkapkan pendapat atau menerbitkan berita, jika hal
tersebut kiranya memberi coretan buruk maupun tidak mnguntungkan pemerintahan
Orde Baru. Padahal dalam kehidupan negara Indonesia,
seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan pikirannya dijamin
secara konstitusional. Hal itu dinyatakan dalam UUD 1945, Pasal 28, bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pengertian lebih lanjut tentang kemerdekaan
mengemukakan pendapat dinyatakan dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan
menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara
lain diatur dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pengertian di muka umum
adalah di hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk tempat yang dapat
didatangi dan/atau dilihat setiap orang. Mengemukakan pendapat di muka umum
berarti menyampaikan pendapat di hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk
tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap orang.
Jika dilihat dari hal-hal diatas, bangsa Indonesia tengah
mengalami situasi sulit dimana kebabasan menjadi barang langka dan kekuasaan
otoriter menjadi “ciri khas” pemerintahan Indonesia selama sekitar 32 tahun.
Penyimpangan – penyimpangan yang terjadi ini pun harus dirasakan masyarakat dalam hati, maupun dalam keluhan
yang tidak menyelesaikan masalah karena tidak adanya pengungkapan secara
terbuka.
C.
Situasi
Politik Menjelang Berakhirnya Orde Baru
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, demokrasi pada masa Orde Baru
tidak mencapai substanstinya. Ini terbukti dengan mutu pemilu yang dianggap
tidak fair dan jauh dari kualitas
demokrasi yang sebenarnya. Golkar di bawah kepemimpinan Harmoko, mantan Menteri
Penerangan (1987-1996) memenangkan lebih dari 70% suara pada pemilu 1997 .
Hal
ini mengundang aksi - aksi protes
terbuka yang mengiringi tahapan-tahapan pemilu. Mulai dari pantarlih sampai
dengan pemungutan dan penghitungan suara di berbagai daerah. Munculnya kehendak
untuk perubahan dalam perpolitikan sudah terasa kian membesar, bahkan sebelum
krisis ekonomi terjadi. Aksi aksi protes pada pemilu 1997 juga merupakan
pertanda semakin meningkatnya keberanian masyarakat untuk melakukan perlawanan
terhadap manipulasi politik yang sebelumnya tidak atau jarang terjadi. Kerusuhan sosial yang semakin marak karena kekerasan
politik baik sebelum maupun pasca Pemilu 1997. Misalnya, peristiwa penyerangan
kantor DPP-PDI di Menteng, Jakarta pada bulan Juli 1996, konflik anatar etnik
(1996) Madura dan Dayak di Sanggau Ledo dan antar Madura dan Melayu di Sambas
(1998) (Kalimantan Barat), huru-hara di Rengasdengklok (Karawang) dan beberapa
kerusuhan dalam skala kecil, terjadi di desa-desa . Dibalik kerusuhan sosial itu
adalah resistensi masyarakat mengadapi poltik kontrol dan pengendalian
pemerintah, karena semakin kuatnya keterkaitan antara kecenderungan politik
nasional dengan politik lokal (Syamsuddin, 1998) yang keras menjelang dan
sesudah pemilu. Kekecewaan itu terfokus atas penataan politik yang hegemonik,
pengelolaan ekonomi yang berlumur KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga
mendorong praktek dan pertumbuhan ekonomi makin tidak sehat,serta penegakan
hukum yang lemah.
Kemenangan Golkar pada
pemilu 1997 tersebut, memposisikan Golkar di puncak kejayaannya. Tetapi,
walaupun pemerintah Orde Baru memperkokoh kekuasaannya, loyalitas ABRI, dan
Golkar yang tak tergoyahkan, demokrasi yang selama Orde Baru kehilangan
substansinya meledak untuk menuntut reformasi di segala bidang.
Menurut para reformis,
reformasi politik harus dimulai dengan mengubah lima undang-undang politik
yaitu UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD, UU Anti Monopoli, dan UU Anti Korupsi. Dr. Anwar Haryono, Ketua Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia melihat bahwa tuntutan akan reformasi sudah tidak
dapat dibendung lagi. Ia menemui Soeharto dan menyarankan agar Soeharto
memimpin reformasi, kalau tidak Soeharto boleh menyerahkan reformasi ke DPR.
Soeharto dengan cerdik
menanggapi usulan Anwar Haryono. Ia mencoba memulai reformasi sesuai dengan apa
yang dipikirkannya sendiri. Tanggal 30 April Presiden Soeharto mengundang para
pimpinan DPR, orsospol dan ABRI ke kantor resminya, Binagraha. Pertemuan yang
disebut silaturahmi itu berlangsung selama 90 menit, membahas situasi politik
terakhir, dan kemungkinan merombak lima undang-undang politik dan reformasi.
Hasil dari pertemuan itu adalah, menurut Soeharto reformasi GBHN itu harus
dengan GBHN yang baru. Kata-kata Soeharto inilah yang kemudian ditafsirkan
sebagai “reformasi tidak ada sampai tahun 2003”.
Mahasiswa dan para aktivis
reformasi sangat kecewa atas pendirian Soeharto itu. Aksi-aksi semakin marak
menuntut agar reformasi dilaksanakan saat ini juga, bukan tahun 2003. Di tengah situasi yang genting,
Soeharto berangkat ke Kairo pada tanggal 9 Mei untuk menghadiri Konferensi
Tingkat Tinggi kelompok G15 ke-8, sebuah forum kerjasama antar negara-negara
berkembang. Ketika di Kairo, Soeharto menyatakan kesediaannya untuk lengser
keprabon. “Silahkan diganti, asal dengan cara yang konstitusional. Saya tidak
akan mempertahankan dengan kekuatan senjata,” Soeharto.
Masyarakat tidak percaya
lagi terhadap kata-kata Soeharto karena dalam waktu dua minggu saja, ralat pers
dan tuduhan salah kutip terhadap pers seperti itu terulang dua kali. Ralat Alwi
Dahlan disampaikan dengan hati-hati, mengingat pengalaman dua minggu
sebelumnya, ralat akan menimbulkan reaksi keras. Perkiraan itu benar. Kali ini
tuntutan masyarakat lebih keras. Mereka menuntut diadakan Sidang Istimewa MPR,
meminta pertanggungjawaban Soeharto, dan mengembalikan mandatnya kepada MPR. Soeharto yang terlanjur
menyangkal pernyataan mundurnya, menjanjikan tiga langkah. Langkah pertama,
Soeharto dengan kewenangan yang ada digunakan untuk menyelamatkan bangsa dan
negara, melindungi hak hidup warga negara, mengamankan harta dan hak milik
rakyat, mengamankan pembangunan dan aset nasional, memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa, serta mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, reformasi
akan terus dijalankan di segala bidang. Dan ketiga, Soeharto akan meresufle
Kabinet Pembangunan VII.
Antara tanggal 18 hingga
20 Mei terjadi beberapa perkembangan sangat menentukan terhadap kedudukan
Soeharto.
Orang-orang yang dekat dengan Soeharto
berbalik arah untuk mendukung tuntutan-tuntutan demonstran. Pada tanggal 18
Mei, gedung MPR/DPR mulai dipadati demonstran. Pimpinan MPR/DPR mengadakan
rapat untuk merespon tuntutan mereka. Rapat itu menghasilkan kesepakatan yang
dituangkan dalam sebuah penyataan pers Harmoko yang mengejutkan semua pihak.
Mengejutkan, karena keluar dari DPR yang didominasi Golkar, kelompok yang dekat
dengan Soeharto. Dalam pernyataan tersebut pimpinan dewan mengharapkan agar
presiden sebaiknya mengundurkan diri.
Pada
tanggal 20 Mei, 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginanjar
Kartasasmita mengadakan rapat di kantor Bappenas.Rapat ini menghasilkan bahwa
mereka tidak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Mereka menyampaikan hasil
rapat ini dalam bentuk surat kepada Soeharto.
Di hari yang sama, Soeharto
juga menerima surat dari pimpinan DPR. Isinya menyatakan agar Presiden Soeharto
selambat-lambatnya mengundurkan diri pada hari Jum’at 22 Mei. Kalau sampai hari
Jum’at itu Soeharto tidak juga mundur, maka pimpinan DPR/MPR akan menyiapkan
Sidang Istimewa tanggal 25 Mei. Setelah membaca surat itu,
Soeharto memberitahu Sadilah Mursyid tentang ketetapan hatinya untuk berhenti
keesokan harinya. Kabar ini pun bocor sampai ke
para demonstran yang menduduki gedung MPR/DPR. Kamis pagi, 21 Mei 1998,
Soeharto membacakan surat pengunduran dirinya dan BJ. Habibie secara otomatis
menjadi presiden .
D.
Peran
Pemuda dalam Penurunan Rezim Orde Baru
Sejarah telah mencatat
kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh
semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat
pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan
Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa
dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah
mengorbakan semangat juang Pemuda, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku
goncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada
sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Peran
pemuda dalam perjalanan bangsa ini sangat sentral. Pemuda selalu menjadi bagian
terdepan dalam setiap perubahan sejarah. Dalam catatan sejarah Indonesia,
pemuda menjadi aktor utama pada peristiwa-peristiwa bersejarah. Kesadaran
nasionalisme Indonesia di awal abad 19 dimulai oleh kaum muda. Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia adalah inisiatif kaum muda. Revolusi kemerdekaan juga
diperjuangkan orang-orang muda, bahkan sebagian dipimpin oleh kaum muda.
Demikian pula runtuhnya pemerintahan orde baru.
Runtuhnya Orde Baru pada awalnya dikarenakan krisis
moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia ada kurun waktu 1997-1998 merupakan langkah pembuka terjadinya
perubahan sistem politik besar-besaran di tanah air dengan mahasiswa sebagai
agennya. Meskipun pada awalnya terlihat sebagai krisis moneter, tapi krisis ini
ternyata mepunyai efek serius dalam berbagai aspek yang luas dampaknya di Indonesia.
Saat itu, mahasiswa terus meneriakkan tuntutan mereka yang pertama,
yaitu “Turunkan Harga!”. Tetapi, semakin lama kondisi perekonomian malah semakin
buruk. Tuntutan mahasiswa pun berubah menjadi “Turunkan Soeharto!”. Saat itu kaum pemuda memiliki pemikiran,
kondisi perekonomian suatu
negara takkan membaik apabila kondisi perpolitikannya buruk,
atau bahkan sudah hancur.
Ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa krisis ekonomi bukanlah krisis
yang berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan kondisi politik dan sosial suatu
negara.
Saat itu, suara hati rakyat disalurkan oleh Mahasiswa yang berperan sebagai pemuda yang
mau peduli pada bangsanya. Ada beberapa
lagu yang mereka ciptakan sebagai pengobar semangat perjuangan mereka, seperti
Buruh Tani dan Totalitas perjuangan. Mereka mulai
turun ke jalan untuk aksi, padahal ini tidak sesuai dengan peraturan NKK dan
BKK. Melihat
keadaan yang demikian, banyak tokoh
pemerintahan yang menuduh mahasiswa melakukan politik praktis. Padahal
mahasiswa melakukan aksi aksi itu dilandaskan pada hal yang mereka anggap benar
dan tidak dipengaruhi oleh kekuatan kelompok lain. Ini menyebabkan gerakan ini
berhak disebut sebagai gerakan moral.
Momentum yang menambah tegang situasi ini adalah semenjak tragedi Trisakti
dimana 4 mahasiswa meninggal ditembak oleh aparat yang berjaga disana. Semenjak
itu mahasiswa terus mendesak agar Soeharto diturunkan. Akhirnya pada tanggal 21
Mei 1998, berkat usaha keras mahasiswa – dan pihak lainnya- , Soeharto pun
mundur dari jabatannya.
E.
Dampak
Partisipasi Pemuda terhadap Politik Orde Baru
Setelah
pemuda berhasil melengserkan Soeharto dari kursi kepemimpinan selama 32 tahun,
Indonesia memasuki masa Reformasi dimana saat itu dikatakan memasuki dunia baru
yang terlepas dari cengkraman penguasa otoriter. Awal reformasi yang ditandai
dengan lengsernya Soeharto sebagai presiden RI pun mulai memberikan kebebasan
pers untuk memuat berita dan tidak diperlukan lagi surat izin terbit dan tidak
ada lagi pembreidelan. Hal ini diperkuat oleh adanya UU No. 40 Tahun 1999
tentang pers. Sejak itu bangsa Indonesia memasuki era sistem pers liberal
barat.
Setelah reformasi, walaupun belum
ada peristiwa politik radikal yang memerlukan peran penting mahasiswa, namun
mahasiswa belum berhenti melakukan aksi-aksi perubahan dalam situasi politik
Indonesia.
Peran mahasiswa masih dibutuhkan
sebagai media kontrol politik Indonesia, sebagai distributor pikiran-pikiran
masyarakat. Sifat mahasiswa yang kritis merupakan faktor pemicu yang kuat dalam
pentingnya peranan mahasiswa dalam peristiwa politik tanah air.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa pemuda memeliki peranan penting dalam memegang tonggak masa
depan dan nasib bangsa. Terbukti dengan adanya beragam gerakan yang disuarakan
maupun melalui aksi mahasiswa yang menuntut adanya sebuah perubahan dari pemerintahan
Orde baru.
Pemuda adalah motor pendukung dan
pengubah nasib bangsa dari keterpurukan. Namun semua itu harus tetap menjunjung
nilai estetika dalam berpendapat. Bangsa indonesia adalah bangsa yang
bermartabat dan bermoral.
B.
Saran
Saran yang diberikan penulis adalah
agar pembaca, khususnya pemuda, mau menyadari pentingnya peran pemuda dalam
suatu negara. Oleh karena itu, sebaiknya pemuda menyiapkan diri secara maksimal
untuk bekal diri menjadi pimpinan bangsa. Pun, jika memang demikia, sebaiknya pemuda
juga menjadi penggerak, pengubah dan pemimpin yang berwawasan tinggi, berakhlak
mulia, beretika dan memiliki norma masyarakat yang tinggi.
5m4mp41.blogdetik.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar