Minggu, 11 November 2012

Evaluasi dan Refleksi Hari AIDS Sedunia

Sebentar lagi dunia akan memperingati hari AIDS yang jatuh pada tanggal 1 desember. Menurut situs http://www.odhaberhaksehat.org, peringatan ini pertama kali dicetuskan oleh dua orang pekerja Organisasi Kesehatan Dunia bagian informasi publik, yakni James W Bunn dan Thomas Netter. Mereka menganggap perlunya adanya suatu hari dimana orang-orang dapat meningkatkan kewaspadaannya terhadap AIDS. Akhirnya, dipilihlah 1 Desember 1988 sebagai Hari AIDS. Di Indonesia, peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran AIDS dan sebagai sarana perbaikan mindset dan pengetahuan masyarakat tentang AIDS yang selama ini masih rendah. Labeling bahwa penderita AIDS, atau yang biasa disebut dengan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) adalah (hanya) penjaja seks, pemakai narkoba, pasangan sesama jenis maupun para pendosa masih begitu kental dalam masyarakat. Kurangnya pengetahuan inilah yang membuat ODHA semakin tidak mendapat pandangan dan tempat “menyenangkan” dalam lingkungan. Padahal kenyataannya, tak sedikit “orang baik-baik” yang seringkali mengejutkan masyarakat karena vonis AIDS yang ia terima. Ironis memang, tapi ya, (masih) seperti inilah ketidak tahuan masyarakat mengenai AIDS secara utuh dan menyeluruh.


Dalam sudut pandang agama, sebagian dari penderita AIDS memang orang yang dulunya bisa dikatakan “berbuat” dosa. Namun kenyataannya saat ini, ODHA yang terjangkit tidak hanya dari kalangan pendosa, tapi juga banyak dari kalangan “orang baik-baik” yang sebenarnya hanya menjadi “korban” tertular dan terinfeksi dari orang lain. Padahal, ia sendiri tidak melakukan seks bebas maupun narkoba. Dan kalaupun ODHA yang terjangkit memang pernah memiliki masa lalu buruk, lantas apakah kita hanya menutup mata pada apa yang saat ini terjadi pada mereka? Ibarat lirik apakah bila terlanjur salah akan tetap dianggap salah, tak ada waktu lagi benahi diri, tak ada tempat lagi untuk kembali (Ebiet G. Ade, Kalian Dengarkah Keluhanku), mereka pun sebenarnya menyesali dan tak pula ingin menerima semua ini. Untuk itu, masih adakah alasan kita untuk berpaling muka?

Keadaan di Indonesia

Berdasar estimasi oleh Komisi Penanggulangan AIDS yang dikeluarkan pada tahun 2009, diperkirakan ada 333.200 ODHA di Indonesia. Dari data laporan kasus yang terlaporkan, 25% dari kasus infeksi HIV dialami oleh perempuan. Sehingga 25% dari 333.200 ODHA atau sekitar 83.000 adalah jumlah wanita Indonesia yang mengidap AIDS. (http://www.odhaberhaksehat.org). Meskipun angka kasus pastinya tidak diketahui dengan pasti, namun Indonesia sudah menyepakati mulai terjadi “feminisasi”dalam epidemi AIDS di Indonesia. Mengapa jumlah wanita pengidap AIDS mampu menempati seperempat jumlah total ODHA? Dalam kaca mata biologi, wanita memang memiliki kerentanan di bawah pria, artinya keadaaan fisik wanita memiliki peluang lebih besar dalam infeksi apapun yang masuk ke tubuhnya. Sedangkan dari segi budaya, pandangan patriarkhi bahwa kedudukan wanita berada di bawah pria sudah menjamur dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan wanita acapkali merasa sungkan (malu, red) meminta pasangannya memakai kondom dan alat pengaman hubungan seks lainnya.

Banyak kasus terjadi pada pasangan suami istri yang baru saja menikah, namun tidak melakukan tes kesehatan pra nikah 6 bulan sebelum melakukan pernikahan karena sudah merasa yakin pada latar belakang calon pasangan. Masih suburnya pandangan masyarakat bahwa penderita AIDS hanyalah para pendosa merupakan salah satu jalan buntu penanganan penyebaran AIDS di Indonesia. Pun, pada kalangan remaja, cinta seringkali menjadi lakon utama dalam kisah penularan AIDS. Seks pra nikah tanpa pengaman yang (biasanya) merupakan tuntutan bukti cinta pada wanita juga merupakan salah satu pintu masuknya HIV pada muda-mudi bangsa kita.

Anak-anak Indonesia pun tak luput dari penyebaran virus mematikan ini. Berdasar data Kementerian Kesehatan hingga 30 September 2010, presentase kumulatif kasus AIDS menurut kelompok umur kurang dari 1 tahun sebanyak 1 persen, usia 1-4 tahun sebesar 1,2 persen dan usia 5-14 tahun sebesar 0,7 persen. Sementara anak usia 15-19 tahun sebesar 2,9 persen. Adapun menurut estimasi Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS), pada tahun 2005 diperkirakan 3000 bayi lahir dengan HIV setiap tahunnya di Indonesia (http://health.kompas.com). Namun yang perlu mendapat perhatian disini adalah, bayi yang terkena HIV bukan semata karena ibunya (si bayi, red). Menurut data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI hingga Maret 2012, perbandingan pengidap AIDS pada laki-laki dan perempuan adalah 3:1, artinya penyebaran HIV besar kemungkinan adalah dari suami ke istrinya, baru kemudian menjangkit bayinya.

Namun, saya pribadi melihat ada pengecualian dalam hal ini. Di kota kecil Jawa Timur, tepatnya Magetan, terdapat satu kasus yang mengherankan sekaligus membingungkan. Pada umumnya, jika seorang ibu terjangkit HIV lalu ibu tersebut hamil, janin yang dikandungnya hampir 96% ikut tertular, tapi apa yang terjadi dalam kasus ini sangat berbeda. Dimulai dari ketidak tahuan bahwa sang suami adalah ODHA dan tidak dilakukannya tes kesehatan pra nikah pada pasangan ini, membuat si wanita pun terjangkit penyakit yang sama dengan suaminya. Tapi apa mau dikata, hal ini baru diketahui wanita tersebut saat suaminya divonis positif AIDS dan meninggal 8 bulan setelah vonis tersebut diberikan. Naasnya, saat itu ia tengah 6 bulan mengandung janinnya. Mau tidak mau ia harus menerima kenyataan bahwa ia sudah terinfeksi AIDS dan menyadari besar peluang bayinya ikut terinfeksi. Sang ibu meninggal pasca melahirkan pada bulan Maret 2006 karena luka yang tidak kunjung menutup yang mengakibatkan pendarahan hebat, tapi yang mencengangkan disini adalah, bayi yang dilahirkan ternyata tidak terjangkit AIDS.

Saat ini, bayi tersebut tumbuh menjadi anak berusia 6 tahun dan berada dibawah pengawasan Dinas Kesehatan Kota Magetan. Ia diharuskan melakukan tes 6 bulan sekali sampai dengan usia 20 tahun, dan setelah itu frekuensi tesnya menjadi 1 tahun sekali. Namun sekali lagi, anggapan masyarakat tentang AIDS yang salah kaprah membuat anak ini sulit diterima di lingkungan luas. Pada awalnya, anak ini terpaksa berganti TK karena sekolah maupun orang tua wali murid yang tidak mau menerima, namun akhirnya dengan penyuluhan yang dilakukan Dinas Kesehatan, anak ini sekarang telah diterima dan duduk di bangku TK.

Refleksi dan Evaluasi

Peringatan 1 Desember mengenai AIDS seharusnya juga mengundang keprihatinan kita, prihatin karena banyak orang seringkali memanfaatkan momentum ini untuk sekedar meraup benefit buta. Seharusnya, momen ini mampu menjadi pukulan keras bagi kita semua, bahwa terdapat sekurangnya 300.000 masyarakat Indonesia yang terjangkit AIDS, dan bahwa ada 3892 orang yang sampai dengan bulan Juni 2012 baru saja terinfeksi HIV. Mari kita peduli terhadap AIDS setiap waktu, mari kita pecut cambuk untuk senantiasa menggiatkan peningkatan pengetahuan tentang AIDS. Sudah saatnya kita membuka mata, bukan lagi tabu membahas kesehatan seksual dan reproduksi di lingkungan remaja karena kita harus membangun benteng pemahaman dan pengetahuan kuat-kuat di kalangan muda. Bukan lagi salah jika banyak lembaga pemerintahan maupun organisasi mempromosikan pemakaian kondom dalam masyarakat luas. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan ODHA dan memvonisnya sebagai sampah yang membawa penyakit sial, karena penderita AIDS tidak selalu seorang pendosa. Hidup melekat dengan penyakit tersebut juga bukan hal yang mereka impikan setiap waktu. AIDS pun bagaikan mimpi buruk dalam malam mereka yang tak kunjung usai. Karena itulah, mari bersama-sama kita perbaiki asumsi yang masih salah, kita hentikan deskriminasi terhadap ODHA, mari kita semua bergandeng tangan, membuka jalan bagi para ODHA dan membangun tinggi usaha preventif dan promotif untuk mencegah HIV menghantui keluarga kita. Kita dapat memulainya dari diri sendiri hingga akhirnya kita dapat membuang sifat apatis dan stigma yang tidak benar adanya. 

18 komentar:

  1. siipp, bagus ndut.. tapi kasih gambar donk, biar variatif.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehee,,okkelaaah,, makasih juga ndul.. :p

      Hapus
  2. mba alpi, judulnya beneran itu? gak mending diganti aja ya mba?

    just give you sugestion, hoho..

    BalasHapus
    Balasan
    1. awww awww,,,okelah...saran diterima...hhee..

      (jelek banget ya judulnya, kok banyak yg kasih saran gitu,,hehe... )

      Hapus
  3. semangat ya,wes apik ko menurut q.......tapi ketok e backlink e kurang akeh....

    BalasHapus
    Balasan
    1. lhhaa,,,masalahE aku ki gak mudeng piye cara'ne ngekek'i backlink Ka,,kui mang wae yo aku nggumun, kok tiba2 kata "AIDS'e dadi backlink dewe,,hehe..

      Hapus
  4. mbak ma ak jane gak mudeng , tapi est lumayan ngendikane ibuk

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe..iyo dek,,nnti kalo udah gede mudeng kok...

      makasih lho.. :)

      Hapus
  5. ada yang aneh diartikel milikmu...yang ibu meninggal pasca melahirkan maret 2012..tapi kok anak saat ini berusia 6 tahun ya????

    BalasHapus
    Balasan
    1. aduuh,,,maaph,,ingetnya tuh tahun ini terus mbak kalo nulis tahun dimana2...yang bener itu 2006 mbak,,, ada kok di koran, n beritanya juga dulu rame dibicarain di RSUD Dr. Soedono Madiun,,hehe...

      Hapus
  6. Alpiiiii.... jempoooolll... hehehe...
    bagus mih... ini buat lomba yaa... ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih Yaakkk jempol'e...tapi jare wong2 liyane sik terlalu luas,,hehe...

      lagi belajaran ki Yak,,nggo lomba dlam rangka hari HIV/AIDS sdunia tgl 1 Des ngko... :)

      Hapus